Skip to main content

Lembayung Senja

Tanah merah basah… ku resapi rinai hujan yang perlahan mulai meluap dari daratan bumi dan aku masih bertahan di tempatku berpijak sejak sejam yang lalu seraya memandangi bangunan itu, terlihat indah dengan ornamennya yang klasik, namun suara bising tak bisa mengerti suasana hati yang berselimut duka ditambah guyuran hujan rindu semakin menambah pusing kepalaku. Ketika sedih aku selalu datang di tempat ini, untuk menceritakan semua yang terjadi mengadu pilu berharap mendapat belaian lembutnya.
Drrttt…Drtt…..Drtt…. 
“Where are you now, Nisa?” tak kusadari benda kecil yang berada di tas ku bergetar.
“ I’m here, why ?”  hatiku pilu saat dirku mendengarkan kata-kata yang terlontar dari mulutku.
“HURRY HOME” tetesan air mataku sedikit-demi sedikit jatuh mendengar jawaban dari sang pemilik HP . Aku alihkan pandanganku kembali ke bangunan tua itu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan suasana itu untuk mataku, teringat akan kejadian 5 tahun yang lalu.
Ku beranikan diri ku untuk menjelajah bangunan tua yang tak berpenghuni. Langkah kakiku mengikuti irama kenangan. Jemariku mengusap debu hingga nampak kayu indah dan khas yang berada di tangga.  Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dalam guyuran alam yang perawan, lidah ombak yang berdesis-desis.
“ Aku lupa, ini sudah pukul 3 sore saatnya aku pulang”
Aku pun bergegas pulang dan hanya secercah senyuman yang aku tinggal di rumah ini.
“Where have you been, Nisa ?” sapaan lembut saat aku melangkahkan di istana putih.
“ Rumah kita bu”
“Are you crazy? Luckily, Your father is leaving” ku berikan tatapan lembut padanya namun hanya sebuah tamparan keras yang ku dapat. Tak pikir panjang, aku hanya dapat berlari menuju kamarku. Terlalu lelah untuk berdebat, ku sendarkan bahuku di tepi kasur. Terlelap diriku dalam pelukan Candra.
Kicau burung dan belaian Sang Surya nampaknya mulai mengganggu dengan keriuhan yang mengusiknya sedari sukmanya yang masih di alam mimpi. Berjingkat meninggalkan dunia semu demi membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Perlahan menyikap selimut dan menuju ruangan kecil.
Kembali dengan tubuh segar, mengibaskan rambut hitam khasnya yang bergelombang seakan menyapa seluruh ruangan sedangkan sederet sandwich seakan menyambut kedatangannya. “Good morning, my child. You look so beautiful today” suara bariton terdengar hingga diriku mencari asalnya dan ternyata berasal dari tuan berkulit pucat dan bermata biru berkebangsaan Eropa yang sekarang notabenya menjadi ayahku. Balasan lembut dari bibir merah nan mungil menggunakan bahasa keseharian kami yaitu bahasa Inggris.Cepat-cepat ku selesaikan sarapanku lalu ku bergegas menuju kampusku.
Aku melangkahkan kaki. Angin menerpa helai demi helai rambutku sehingga orang terpana olehku. “Nisa” aku menolehkan kepala ku mencari sumber suara. Suara itu mendekat padaku. “Pagi” dia membisikkan kepadaku. Hanya anggukan yang aku berikan padanya. Dia adalah orang yang menemaniku belajar budaya Indonesia dan mengajarkan budaya Indonesia kepada anak-anak di rumah susun yang masih buta akan budaya-budaya kita. Di saat orang-orang di sekeliling kami mencintai dan membangga-banggakan budaya gingseng, mencintai produk Paman Sam dan memakan-makanan dari negri Sakura serta lebih bangga menggunakan bahasa Inggris. Putra berbeda dengan orang di sekeliling ku dia mengingatkanku pada almarhum ayahku. Ayah tercinta yang gugur di medan perang demi menjaga keamanan NKRI.
Cahaya emas berkilatan pada gedung-gedung bertingkat,bagai disapu kuas keindahan. Awan gemawan menyisih, seperti digerak-gerakkan tangan dewa. Cahaya kuning matahari melesat-lesat. Membias pada gerak jalanan yang mendadak berubah bagai tarian. Maka langit bagaikan lukisan sang waktu, bagaikan gerak sang ruang. Cahaya melesat-lesat, membias dan membelai rambutku yang melambai tertiup angin dan dari balik rambut itu mengertap cahaya anting-anting yang tak terlalu gemerlap dan tak terlalu menyilaukan sehingga bisa ditatap bagai menatap keindahan yang sedang menari Srimpi. Lantunan- lantunan gamelan yang dimainkan oleh Putra bermain diatas kampung-kampung.Sembari menikmati senja kami memperkenalkan budaya Jawa kepada anak-anak dusun, sengaja ku lakukan tanpa sepengetahuan Papah. Lokasi yang kami pilih jauh dari tempat tinggal kami maupun kampus. Teman-temanku menganggap apa yang kami lakukan kampungan dan jelek tetapi berbeda dengan keceriaan disini. Tanpa aku pikiri, aku menari luwes dan elastis menikmati iringan gamelan.
Ada sisa layang-layang dilangit,bertarung dalam kedamaian. Ada yang sia-sia mencoba bercermin di kaca spion sepeda motornya. Langit makin jingga, makin ungu. Cahaya keemasan berubah menjadi keremangan. Keremangan berubah menjadi kegelapan memperlihatkan senja yang sedang bermain. Bola matahari tenggelam di cakrawala, jauh, jauh diluar kota. Dan begitulah hari ini berlalu. Malam telah turun di sebuah pedesaan Jakarta, aku menulis sajak tentang cinta ku terhadap Ibu Pertiwi.
“Sering-sering datang ke sini ya nak, semoga pemuda-pemuda hebat seperti kalian banyak sehingga budaya kita tidak terkikis oleh waktu dan tidak mudah untuk diakui oleh negara lain” tutur salah salah seorang ibu
“ Aamiin bu”
Lantas aku dan Putra berpamitan dan bersalaman kepada sesepuh yang sedang berada disitu, bergegas aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik.

“Where do you come from ? This time you just returned home” di balik pintu terdengar suara dengan nada tinggi
“Mmmm.. Just from campus, dad” kataku dengan tenang
“Don't you try to learn Indonesian culture” (Jangan pelajari budaya Indonesia)
“ Pah, Nisa lelah selalu menuruti keinginan papah” setidaknya aku telah menyampaikan kata yang dari dulu ingin kuucap walaupun tidak dimengerti kepada yang ditujunya.
Tok…. Tok…. Tok….
Ku buka perlahan, lalu terlihat sosok indah memberi sambutan hangat dengan pelukan. Ku ajak masuk ke kamar ku, untuk pertama kalinya ibu berbicara bahasa Indonesia. Rindu sosok mungilnya, mengobrak-abrik pertahananku air mataku kembali luruh. Berharap aku dapat mengadu kerinduanku,tetapi dugaanku salah. Ia mencoba merayuku untuk menerima tawaran pekerjaan di London. Selama lima tahun tinggal di istana putih ini bagai tinggal di negeri orang. Mulai dari suasana ornamen-ornamen  rumah, makanan sehari-hari, bahasa sehari-hari bahkan kampus menggunakan bahasa Inggris. Ingin diriku mengadu pilu ini pada ibu, tetapi kini ibu sudah berbeda, begitupula papah fanatisme terhadap negara asalnya. Ku serahkan beban ini di pundakku hingga ku tidur terlelap di selimuti Sang Rembulan.
Keesokan harinya, ku kembali menjalankan aktivitasku.
“Nis,dipanggil dosen” bisiknya padaku.
Aku beralih haluan menuju ruang dosen ditemani Putra. Tak lama diriku berada diruang dosen, namun usai dari ruang guru tertegun diriku mengingat semua yang dikatakan oleh dosenku dan pernyataan setuju oleh Putra. Kecewa dan sakit. Bagaimana bisa Putra mengingkari komitmen untuk memajukan Indonesia? Mengapa dia menerima tawaran bekerja untuk negara luar? Pikiranku kacau merasa, berusaha memendam amarah dan kesabaranku kini kian memudar. Sahabat satu-satunya yang dapat ku percaya lebih dari aku mempercayai keluargaku sendiri sekarang telah pergi.  Aku sudah menjawab dengan lantang tidak akan pergi dan berusaha tetap disini meskipun tawaran di luar lebih menggiyurkan. Jika orang-orang berdaya saing unggul pergi ke negara orang lalu siapa yang akan membangun negara kita? pikirku.Setelah aku bersikeras menolak dengan lantang dari dosen tawaran pekerjaan aku pun mendapat sanksi keras dari Papah. “I'm disappointed with you, son, now leave here” berat hati ku langkah kan kaki ku meninggalkan sosok wanita tercinta demi masa depan negeri ini, langkah demi langkah ku berjalan tanpa arah. Bimbang, tak memiliki uang sepeser pun tetapi aku masih punya tekad. Akhirnya aku mendapati kos-kosan sebagai tempat tinggal ku saat ini.
Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin ku cermati kata demi kata agar meresap sempurna di otakku. Menjelang pukul 8 pagi aku telah sampai di kampus. Lalu pukul 2 aku harus sudah memakai khas pakaian coklat mengawasi gerak-gerik pelanggan. Saat mulai sepi aku menyandarkan bahuku untuk menghilangkan penat ini sembari mencari informasi-informasi.
Setelah beberapa bulan aku dinyatakan Cumlaude saat memakai toga dan lolos seleksi dari KEDUBES RI.  Kini aku di tempatkan di London mewakili Indonesia. Segenap cinta dan abdiku pada ibu Pertiwi. Oleh karena itu, saat aku menjadi dubes ku raih beberapa penghargaan dan menjalankan tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab dan integritas tinggi.

Cinta itu seperti angin
Kau tidak bisa melihatnya dan tidak bisa mendengarnya
Hanya dapat dirasakan tak perlu di ungkapkan oleh kata-kata


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengucapan Salam dalam Bahasa Jerman

Pengucapan salam ini dalam bahasa Jerman dapat digunakan saat acara formell maupun informell.  Berikut ucapan salam sehari-hari : a.       Guten Morgen ! (Selamat pagi) Biasanya diucapkan saat pagi hari sampai menjelang jam 11.00 b.       Guten Tag ! (Selamat Siang) Selamat siang dalam bahasa Jerman diucapkan diantara jam 11.00 – jam 18.00 c.        Guten Abend ! (Selamat malam) Guten Abend kadang orang-orang mengira bahwa arti dari Guten Abend adalah Selamat sore padahal Guten Abend artinya Selamat malam yang sering diucapkan dari jam 18.00 – malam sebelum tidur. d.       Guten Nacht ! (Selamat tidur)       Guten Nacht biasa diucapkan saat menjelang tidur .

Pelibatan Keluarga pada Satuan Pendidikan di Era Kekinian

#sahabatkeluarga Selamat Siang readers, Era globalisasi merupakan era dimana kemajuan teknlogi berkembang pesat dan menuntut segala sesuatunya serba instan, cepat serta mudah diperoleh dan dikerjakan dalam mendapatkan sesuatu. Tak dipungkiri bahwa setiap orang harus meningkatkan kualitas diri agar mampu bersaing dan tidak tertinggal tekhnologi. Berdasarkan hasil survey 2017 oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) fenomena pada saat ini anak lebih menguasai teknologi dibangdingkan orang tua. Dilihat dari diagram diatas bahwa pengguna internet terbanyak adalah anak dibawah umur.  Oleh karena itu,orang tua perlu belajar mengikuti zaman. Hal ini sangat penting karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan anak sekaligus merupakan fondasi bagi pembentukan karakter anak. Internet membawa dampak positif jika penggunanya bersikap bijak dalam menggunakan internet, tetapi dapat membawa dampak negative jika penggunanya mengakses ...